Body Positivity = Toxic Positivity?

 


Salam.
Kalau antum-antum adalah pengguna loyal platform twitter, mungkin udah tahu kalau beberapa waktu yang lalu twitter gempar (emang kapan ngga pernah gempar?) sama tweetnya Revina VT.

Revina VT adalah selebgram yang terkenal karena.....nga tau(daripada gue sok tahu). Gue cuma tahu Mba Revina ini karena cium cium ikan tangannya Yonglek. Itu videonya melekat banget di lobus frontalis gue sampe sekarang :') padahal sekarang yonglek dah punya istri dan anak :')

Au ah, balik lagi ke Mba Revina VT
Jadi Mba Revina beberapa waktu yang lalu nge tweet kek gini



Dari dulu sampai sekarang, gue ngga pernah paham kenapa setiap orang yang ngomong "no offense" selalu diikuti dengan kalimat yang offended somebody. 

Mungkin dipikir kalau udah ngomong "no offense" maka dia punya wildcard untuk bebas ngomong apa saja "kan gue udah bilang no offense nih, jadi kalo gue ngatain ketek lo bau dan lo marah, berarti bukan salah gue"

Gitu kali ya logikanya? >,<

Kalau dari tweetnya revina, kayanya gue ngga perlu bahas lebih lanjut. Soalnya secara eksplisit kita semua bisa menilai tweet dia itu rude, mean, bikin pingin nangis karena insecure dan banyak reaksi-reaksi lainnya. Mba Revina-nya juga secara berbesar hati meminta maaf atas diksi yang ia gunakan pada twitternya. Ngga, gue ngga mau bahas tentang itu. Gue sudah komentar panjang kali lebar tentang body shamming di postingan 2017 lalu (kalau ngga salah)

Gue justru lebih tertarik buat ngomentari instatorynya tentang ini:

Sumber : https://hot.detik.com/celeb/d-5159303/revina-vt-belajar-berempati-usai-diberi-balasan-menohok-soal-body-shaming


"Menurut gue, jahat banget orang-orang kalau masih spread body positivity tapi larinya malah ke toxic positivity"
Oke, gue tertarik banget sama topik toxic positivity soalnya relate sama era saat ini, era influencer yang ngga pagi ngga malem, hastagnya "positive vibes only".
Lho, emang salah?
 
Toxic Positivity menurut Psychology Today adalah konsep dimana seseorang hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak apapun yang dapat memicu emosi negatif. Kondisi ini membuat seseorang berpikir bahwa menjadi positif adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menjalani hidup.

Sekilas, pengertian diatas itu seakan-akan bener banget. Ya kalau mau hidup yang positif, maka berfikirlah positif agar semesta akan mengikuti.

Hmm

Gue sebagai orang awam yang sama sekali ngga punya background psikologi aja ngerasa kondisi ini ngga beres. Manusia dilahirkan dengan beragam perasaan. Ada joy, sadness, anger, disgust dan fear. Iya, gue emang lagi nyebutin karakter di film inside out. Inget ngga? ketika Si Joy egois banget pingin ngejaga biar Riley happy terus dan ngga ngebolehin emotion lain--terutama Sadness mendekat? Akhirnya Riley bingung sama perasaannya sendiri, ngga tau dia sebenarnya mau apa, terus setres.

Tadinya gue pikir ini cuma skenario aja, eh tapi setelah gue riset tentang Toxic Positivity ini, gue nemu artikel menarik di Kumparan.

Dikutip dari Kumparan, dr Jiemi menjelaskan bahwa setiap emosi itu punya pesan. Kalau emosi-emosi itu disangkal atau dipendam demi terus terlihat positif atau bahagia di depan orang-orang, yang ada emosi negatifnya menumpuk, kemudian bisa memicu stres dan sakit psikis serta fisik alias psikosomatis.

Gila, betapa kata-kata manis efeknya bisa pahit banget

Mungkin secara tidak sadar, kita sering menjadi tersangka toxic positivity kepada kenalan kita. Pasti kalian semua udah ngga asing dengan kalimat ini :

"Duh aku sedih, pacarku kemarin ketahuan selingkuh"
"Yaela gitu aja sedih, kemarin pacarku ketahuan selingkuh malah gue yang ditampar didepan orang banyak dan dia belain selingkuhannya"

"Duh, aku cuma dapet gaji UMR padahal kerjaan gue bikin mo mati"
"Hmmm kamu kurang bersyukur...masih banyak orang yang ngga makan lho. Kamu itu beruntung banget masih punya kerjaan"

"Orang tuaku abusive"
"Mereka ingin yang terbaik buat kamu, nggak boleh syuudzon sama orang tua. Mereka sudah didik kamu dari kecil"

Sering nemuin kasus-kasus diatas ngga?

Sama, gue juga. Kita emang hidup di masyarakat religius yang apa-apa kembali ke Tuhan. Apa itu salah? Ya engga. Sebagai orang yang beragama, gue kalau lagi sedih juga kadang balik lagi ke Tuhan, entah doa atau sekedar curhat

Tapi, kadang kita lupa, kalau ngga semua manusia itu kayak kita. Ada orang-orang yang merasa kalau masalahnya ngga selesei dengan doa. Ada orang-orang yang ingin didengarkan, dipeluk, dihargai dan divalidasi rasa sakitnya.

Tapi alih-alih kita memberikan ketentraman, kita justru menyalahkan dia karena memiliki emosi negatif--yang seharusnya wajar-wajar saja dimiliki oleh manusia. 
Akhirnya apa? 

Mungkin iya mereka diam dan berhenti merengek. Tapi mana kita tahu dalam hatinya seperti apa. Seberapa kuat dia menahan emosinya dan akan seperti apa kejadiannya jika suatu saat dia sudah tidak sanggup menahan emosinya 
Kalau lo merasa selama ini lo sering nge "Yaelah gitu doang nangis" ke orang, please dude-stop

Temen lo itu manusia bukan panda. Dia tahu kapan dia harus berhenti nangis tanpa lo suruh. Tugas lo sebagai teman, cuma ada buat dia, meluk dia and put yourself in her/his shoes. 

Jangan asal judge masalah orang. You have no idea what he's been through

"Huuuu kenapa aku gendut banget"
"Duuuh kamu cantik kok saaaay, ayo makan lagiii yolo!!!!"

Nah, kalau kasusnya kaya yang diatas, pernyataan Revina mengenai Body Positivity yang "larinya" malah ke Toxic Positivity bisa saja benar. 

Body Positivity, secara harfiah adalah penerimaan setiap perubahan tubuh. Kamu menghargai tubuhmu apapun bentuknya. Namun, bukan berarti kamu menjadi bebas dan tidak menjaga apa yang kamu punya dong?

Membiarkan tubuh yang obesitas tanpa hidup sehat, olahraga dan diet (yang disesuaikan dengan arahan ahli gizi) tentu bukan termasuk body positivity. Ingat, marwah body positiviy adalah menghargai tubuhmu. Jadi kalau kamu serampangan dan tidak mengurusnya, ya mohon maaf jangan bacot tentang body positivity.

Dear, sekedar mengingatkan bahwa antrian bpjs bakalan selalu panjang

Trus harus gimana dong? ngolok ngolok gendut, ketek bau dan bokongnya item kek Revina?

Ya jangan. Mungkin Revina benar tentang Toxic Positivity. Tapi dia lupa kalau sebagai manusia, dia perlu punya empati.

Mungkin maksudnya baik, untuk mengingatkan orang agar dia semakin semangat memperbaiki diri. Tapi jika kata-katanya diucapkan dengan diksi menyakitkan, di tempat dan waktu yang salah, ya mohon maaf kamu akan menjadi musuh masyarakat cabang olahraga pembully

Wkwkwk, susah juga ya jadi manusia
Untung gue stiker pentol


X. Bita

0 komentar